Home / Opini

Kamis, 9 Agustus 2018 - 08:43 WIB

Pendidikan dalam Keluarga, Fase Sekolah yang Mulai Dilupakan

Jika kita membahas pendidikan, hal apakah yang akan terbesit di benak masyarakat? Tentu sekolah. Namun seberapa penting pendidikan sekolah tersebut. Tidak bisa dipungkiri pendidikan formal menjadi pertimbangan yang besar dalam kehidupan kita. Bahkan sebagian besar pekerjaan di Indonesia, memberikan standar minimal pendidikan. Mulai dari ijazah SMP, SMA, D3, atau S1.

Pemikiran mengenai pentingnya pendidikan formal terkadang membuat orangtua mulai lupa dengan pentingnya pendidikan dalam keluarga. Orangtua berbondong-bondong memasukkan anaknya ke sekolah sedini mungkin. Terkadang masih ditambah berbagai les, mulai dari les piano, bela diri, balet, dan sebagainya. Sehingga banyak anak-anak yang kehilangan waktu bermainnya.

Dalih sibuk bekerja, beberapa orang tua justru memilih menyibukkan anaknya untuk belajar di luar rumah. Fakta ini bisa dilihat secara langsung di masyarakat. Jika dahulu sekolah dimulai dari TK, sekarang dimulai dari level Kelompok Bermain atau play group.

Akhir-akhir ini, ada fase pendidikan yang mulai terabaikan, padahal fase ini sangat penting bagi pertumbuhan anak. Yakni, pendidikan dalam keluarga. Betapa tidak, apa yang kita lihat,dengar, rekam dengan panca indra untuk kita pertama kali adalah segala sesuatu yang ada dalam keluarga kita masing-masing.

Untuk membuktikannya, coba tanyakan pada diri kita sendiri, hal apa saja yang masih kita rasakan saat masa sekolah? Apakah kita masih ingat rumus-rumus fisika, deretan hafalan biologi,rumus-rumus matematika, atau tanggal-tanggal penting yang kita hafalkan dalam mata pelajaran sejarah? Justru bukan semua itu. Kebanyakan yang masih melekat dalam ingatan kita adalah siapa teman-teman sekelas kita, guru-guru, makanan kesukaan di kantin dan masih banyak lagi.

Baca Juga :  Program Food Estate di Kalteng Miliki Nilai Ekonomi Sangat Menjanjikan

Bagaimana dengan hal-hal yang kita dapat dari pendidikan keluarga? Apakah kita masih mengingatnya? Ya tentu, kita berjalan tanpa berpikir bagaimana cara berjalan, kita makan tanpa mengingat-ingat bagaimana caranya makan, gaya bicara kita, perilaku kita, emosi kita, secara tidak sadar semua itu adalah hasil dari pendidikan keluarga.

Masyarakat harus sadar, seberapa penting pendidikan keluarga di samping pendidikan formal. Seorang anak cenderung meniru kebiasaan atau perilaku orang tuanya. Mungkin karena itulah ada pepatah mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.

Anak yang selalu dibentak dan dimarahi orang tuanya, akan melampiaskannya dengan menyiksa binatang peliharaannya atau dengan mem-bully temannya di sekolah. Bisa juga dilampiaskan dengan melakukan pemerasan, memalak teman sepermainannya. Hal ini banyak terjadi di masyarakat. Oleh karena itulah, banyak orang berpendapat bahwa sikap kasar pada anak sangat tidak dianjurkan. Sebaliknya, anak yang dididik dengan kelembutan dan sikap disiplin akan tumbuh menjadi seorang manusia dengan sikap serupa.

Penting bagi setiap keluarga menyediakan waktu untuk duduk sekedar saling berbicara satu sama lain, atau sekedar melakukan kegiatan bersama anak. Mengapa itu perlu dilakukan? Sebab saat itulah kesempatan orang tua untuk memberikan pendidikan kepada sang anak secara langsung, tidak dengan menasehati atau memerintah, tapi dengan memberikan contoh nyata. Itulah makna sesungguhanya dari waktu yang berkualitas dalam keluarga atau lazim disebut quality time.

Baca Juga :  Dana Desa DAS Barito: Realisasi 2022 dan Penyaluran 2023

Orangtua bisa melakukannnya dengan membaca cerita atau mendongeng pada si kecil sebelum tidur. Kegiatan itu bisa menjadi salah satu cara yang efektif untuk memberikan pendidikan kepada anak di dalam keluarga.

Selain mudah dilakukan, kegiatan tersebut tidak memakan banyak waktu. Sederhana namun terbukti mampu membangun kedekatan antara orang tua dan anak. Sehingga alur komunikasi orang tua dan anak tidak terbatas hanya pada kata perintah atau larangan, seperti “Ayo mandi! Cepat mengerjakan PR! Jangan main HP terus! Jangan coret-coret tembok!” dan masih banyak lagi contoh lainnya. Dengan membacakan cerita, anak dapat menyerap banyak gizi bagi kebutuhan rohaninya.

Mereka belajar tentang kehidupan, tentang sebab akibat dan tanggung jawab. Anak juga belajar bahwa orang tuanya bukan hanya tukang perintah dan marah-marah, mereka belajar bahwa orang tuanya merupakan orang yang bisa dipercaya dan diajak bicara dan berdiskusi mengenai banyak hal.

 

@Penulis – Seorang mahasiswi dan penyair, tinggal di Yogyakarta.

Share :

Baca Juga

Opini

Dana Desa DAS Barito: Realisasi 2022 dan Penyaluran 2023

Opini

Penggunaan Dana Desa Harus Dikawal dan Dirasakan Manfaatnya oleh Masyarakat

Opini

Membudayakan Hemat Listrik Perlu Langkah Konkret

Opini

Buah Sawit Jadi “Buah Simalakama”

Opini

Sudahkah..? Percepatan Penyaluran DAK Fisik Memberikan Dampak Pemulihan Ekonomi Rakyat

Opini

Pengaruh Budaya Asing di Medsos Terhadap Prilaku Remaja

Opini

Pembiayaan Ultra Mikro dan Tantangannya

Opini

Program Food Estate di Kalteng Miliki Nilai Ekonomi Sangat Menjanjikan