Minim Alat Bukti, Polisi Kesulitan Pidana Oknum Ustadz

PANGKALAN BUN, KaltengEkspres.com – Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oknum ustadz berinisial AH terhadap seorang santriwati berinisial S di Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Hidayah Desa Sumber Agung  pada 1 Agustus 2017 lalu, kembali terkuak. Itu seiring orang tua korban Siti Noor mendatangi Kantor Dinas Pemberdayaan, Perempuan dan Anak (DPPA) Kobar Senin (15/1/2018), untuk mengadukan kasus pelecehan seksual yang dialami putrinya tersebut. Kedatangannya ke kantor setempat, buntut dari ketidak puasan Siti Noor terhadap penanganan kasusnya oleh Polres Kobar.

“Kejadiannya sebenarnya sudah kita laporkan ke Polsek Lada tepatnya tanggal 23 Agustus. Lantaran ramai diberitakan, kasusnya diambil alih Unit PPA Polres Kobar. Hanya sudah lima bulan ini belum ada perkembangan. Kami berharap polisi bisa menindaklanjuti. Bahkan semua pengakuan anak saya dan tiga saksi korban juga sudah menjadi alat bukti,”ungkap Siti seusai mendatangi Kantor DPPA Kobar.

Terpisah Kanit PPA Polres Kobar Bripka Shinta mengatakan, pihaknya sudah memeriksa beberapa orang saksi dalam menanganai kasus ini sebelumnya. Yakni sekitar kurang lebih ada sembilan orang termasuk korban didalam. Bahkan pada 24 Agustus 2017 lalu, korban telah dilakukan visum. Hasil dari pemeriksaan luar yang dilakukan oleh dokter forensik mengambil kesimpulan rasa nyeri dan merah pada organ intim korban S bagian luar bawah diakibatkan karena keputihan disertai tekanan dari luar.

“Saat itu saya tanya ke dokter forensiknya yang dimaksud tekanan dari luar itu apa, apakah yang dimaksud adalah benda tumpul, dokter menjawab bukan, tekanan dari luar ini bisa berupa garukan sehingga membuatnya menjadi warna merah” ucap Shinta menceritakan detail percakapannya dengan dokter forensik tersebut, saat ditemui di ruang kerja Kasat Reskrim Polres Kobar, Senin (15/1/2018).

Ditambahkannya,  berdasarkan hasil visum tersebut ia langsung melakukan koordinasi dengan jaksa. Saat itu menurut dia, jaksa mengatakan alat bukti sangat lemah, dengan kata lain berkas ini tidak bisa dengan gegabah langsung dinaikan ke proses penyidikan atau menjadi sebuah laporan polisi (LP).

“Hal ini lah kenapa sampai saat ini kami belum melakukan gelar perkaranya. Ini juga karena permintaan dari pihak korban. Ibunya meminta kepada saya tolong mbak jangan digelar dulu. Karena waktu itu dia sempat bertanya kepada saya, apa mbak hasil jika kasus ini digelar, saya jawab dari hasil koordinasi saya bersama jaksa dan dokter forensik kemungkinan besar akan ditutup karena alat bukti tidak cukup atau dianggap lemah, disitu ibu korban langsung meminta kepada saya kalau begitu jangan digelar atau ditutup dulu mbak,”ujarnya kepada Kalteng Ekspres.com.

Menurut dia, untuk mempertahankan kasus tersebut dirinya juga tidak mau disalahkan karena menunda. Karena itu ia lampirkan SP2HPA2, yang menjadi bukti bahwa pihaknya masih melakukan penyelidikan dan masih mencari bukti dan saksinya yang lebih jelas, dan kuat serta akurat.

“Seharusnya perkara ini sudah dilakukan gelar dan sudah SP2HPA5 atau mengatakan bukti tidak cukup dan saksi tidak cukup sehingga berkas ditutup, tapi karena permintaan dari orang tua korban minta jangan di tutup atau di gelar dulu, makanya saya terus mencari bukti kuat dan berkoordinasi dengan jaksa, karena jika saya gegabah menggelar tanpa ada bukti yang kuat atau saksi yang jelas maka bisa mencemarkan nama baik orang,”paparnya. (dri)

Berita Terkait