PALANGKA RAYA, KaltengEkspres.com – Kehadiran perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah pada tahun 1990-an membawa angin segar bagi warga Kalimantan Tengah.
Betapa tidak, saat sejumlah komoditi perkebunan yang selama ini digeluti warga secara turun temurun, seperti karet dan rotan mengalami penurunan harga. Maka ada pilihan lain untuk dilakukan, yaitu dengan menanam Kelapa Sawit.
Meski sebagian masih ada warga yang ragu untuk menanam kelapa sawit, sebagian warga sudah mulai mencoba untuk menggeluti menanam tanaman asal Timur Tengah ini. Apalagi di Provinsi Kalimantan cukup banyak perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang menampung dari para petani lokal.
Wawan Satriawan (40) misalnya, ia mencoba menanam lahan kosong warisan orangtuanya di daerah pedalaman Kabupaten Kotawaringin Timur seluas 6 (enam) hektare sejak 2013 lalu. Kini dia bisa tersenyum manis, berkat hasil menanam sawit.
Wawan yang sehari-hari bekerja sebagai anggota satuan pengamanan (Satpam) salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit ini, mulai menikmati hasil panen kebunnya.
Apalagi saat ini harga Tandan Buah Segar (TBS) Kel, Kelapa Sawit cukup tinggi yaitu berkisar antara Rp2.500-Rp2.800 per kilogram. Ditambah lagi panen setiap 18 hari sekali, maka hasil yang diperoleh cukup lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya.
“Hasil berkebun sawit ini cukup lumayan, perawatannya juga tidak terlalu sulit. Asal kita betul-betul menggelutinya,” kata Wawan, Jumat (19/11/2021).
Hal senada juga diungkapkan Rokim, warga asal Pangkoh yang sehari-hari bekerja swasta di Kota Palangka Raya. Dikatakannya, di daerah asalnya di Pangkoh – Kabupaten Pulang Pisau, ia menanam kelapa sawit sekitar 4 hektare sekitar tujuh tahun lalu. Saat ini kebunnya tersebut sudah mulai panen.
“Lumayan mas untuk menambah biaya hidup dan bisa untuk membantu membayar angsuran kredit mobil Pikap,” kata Rokim.
Dijelaskannya, saat harga TBS sekitar Rp2.500-Rp2.800 per kilogram, ia mendapat hasil bersih sekitar Rp2.000 per kilogram setelah dikurangi biaya panen.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik di berbagai provinsi menunjukkan peningkatan signifikan Nilai Tukar Petani (NTP) terutama daerah sentra kelapa sawit. Peningkatan ini didukung tren positif harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang mendongkrak pendapatan dan kesejahteraan petani.
“Kita harus bangga dan bersyukur atas anugerah Tuhan sehingga kelapa sawit tumbuh subur di Indonesia. Data kami peroleh provinsi sentra sawit memiliki NTP tertinggi di Indonesia,” ujar Dr. Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dikutif dari Majalah Sawit Indonesia.com.
Di Riau, Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan 2021 adalah 144,90. Ada kenaikan sebesar 2,53 persen dibanding NTP September 2021 yang hanya 141,32. Faktor pendorong kenaikan NTP Provinsi Riau pada Oktober 2021 ditopang dua sektor.
Pertama, kenaikan NTP tertinggi terjadi pada subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat yaitu sebesar 2,91 persen dan diikuti kenaikan NTP pada subsektor Hortikultura yaitu sebesar 1,13 persen.
“Seperti Petani Riau paling sejahtera di Indonesia pada Oktober 2021. Ini tercermin dari nilai tukar petani (NTP) di provinsi Riau yang paling tinggi secara nasional pada bulan lalu,” ujar Gulat.
Secara rinci, indeks nilai tukar (int) petani Riau sebesar 156,21 pada bulan lalu. Sedangkan, indeks yang dibayar (ib) petani di provinsi tersebut hanya 107,81 pada periode yang sama.
Dalam catatan APKASINDO, provinsi kedua tertinggi adalah Bengkulu dengan NTP sebesar 140,04 pada Oktober 2021. Setelahnya ada Kalimantan Barat dengan NTP sebesar 137,63.
Setelah itu, Jambi dan Bangka Belitung masing-masing punya NTP sebesar 131,51 dan 137,63. Kemudian, NTP Sulawesi Barat sebesar 127,86.
NTP Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur berturut-turut sebesar 125,11 dan 124,35. Sumatera Utara memiliki NTP sebesar 123,21. Sementara, Sumatera Selatan memiliki NTP sebesar 111,96. Sebagai informasi, NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.
“Apakah kita tidak sadar ini? Di saat bersamaan negara lain cemburu dengan kondisi ekonomi Indonesia yang baik-baik saja saat pandemi terjadi,” ujar Gulat.
Ia mengatakan dampak kelapa sawit bukan saja yang memiliki kebun melainkan terhadap dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi terhadap bangsa ini dan dunia sangat berkelanjutan dan memenuhi 17 SDGs. Pembelajaran sejak dini tentang komoditas strategis ini perlu dimasukkan ke kurikulum nasional yang diperkuat dengan UU Perlindungan Komoditas Strategis. (hs)