

Pihak Perusahaan Sebut Tuntutan Warga Tidak Mendasar
NANGA BULIK, KaltengEkspres.com – Sebelum dibubarkan pasukan gabungan dari Polres Lamandau, Kodim 1017/Lamandau dan Satpol-PP Kabupaten Lamandau, sekelompok masyarakat menduduki areal perekebunan sawit milik PT Gemareksa Mekarsari (GMR) dan PT Satria Hupasarana (SHS).
Alasan mereka mendirikan tenda di areal perusahan berbendera PT Karya Teknik Agri Group tersebut lantaran warga Desa Perigi Raya, Bukit Raya dan Bukit Makmur, Kecamatan Bulik itu menyakini jika sampai saat ini sengketa yang terjadi antara pihak warga dan perusahaan belum terselesaikan.
“Khususnya H1 dan H2 Desa Bukit Raya dan Desa Bukit Makmur,” ungkap salah satu perwakilan warga, Kristianto D Tundjang. Senin, 5 Desember 2022.
Mereka melakukan aksi tersebut bersama koalisi 6 Ormas. Diantaranya, Gerakan Betang Bersatu Kalimantan Tengah (GBB-KT), Borneo Sarang Paruya (BSP), Mandau Apang Baludang Bulau (MABB) Gerakan Peduli Pembangunan Se-Kalimantan (GPPS), Persatuan Silat Dayak Kalimantan Tengah (PSDKT) Tantara Lawung, Forum Pemuda Dayak (Fordayak).
Selain menuntut perusahaan untuk menghentikan kegiatan di luar areal Hak Guna Usaha (HGU), mereka juga meminta pihak perusahaan memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) kepada warga di sekitar kebun secara adil dan merata.
Terkait Keputusan Menteri LHK RI Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 Tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, Kristianto meminta pihak perusahaan menunjukkan SK evaluasi dan bukti pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ia juga meminta 200 meter kanan dan kiri jalan untuk area pemukiman dan 20 persen dari kebun inti untuk plasma. “Jika tidak dipenuhi, kami akan tetap bertahan dan memanen buah sawit di area yang kami tentukan. Hal ini merupakan aksi agar pihak perusahaan memenuhi tuntutan kami,” cetusnya.
Dikonfirmasi terpisah, Asisten General Manajer (AGM) PT GMR dan PT SHS, Syarifullah mengungkapkan jika tuntutan sekelompok warga tersebut tidak mendasar. Bahkan, dinilai sudah tidak sesuai dengan fakta yang ada. Pasalnya, selama ini pihak perusahan telah menjalankan usaha sesuai dengan aturan.
Terkait SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tersebut sudah sangat jelas dan terperinci disampaikan Kementrian LHK RI jika dari 106 Daftar SK Izin Konsesi Kawasan Hutan yang dicabut selama periode September 2015 hingga Juni 2021, Mentri LHK RI telah mengeluarkan PT GMR dan SHS dari Daftar.
“Hal tersebut juga sudah dilakukan klarifikasi oleh kementerian terkait,” ujarnya.
Sementara, berdasarkan Kepmen LHK RI Nomor SK.1183/SETJEN/KUM.2/12/2021 tanggal 3 Desember 2021, PT GMR – SHS mencakup aspek usaha, teknis atau fisik, ekonomi dan keuangan yang menjadi pertimbangan usaha dan bagi peningkatan ekonomi masyarakat dianggap memenuhi standar kelayakan.
Selanjutnya, Menteri LHK RI mengeluarkan Keputusan Nomor SK.687/MENLHK/SETJEN/PLA.2/7/2022 Tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT GMR dan PT SHS.
Menanggapi tuntutan terkait pemenuhan plasma 20 persen juga sudah dipenuhi perusahaan. Begitupun dengan CSR untuk warga di sekitar perusahan. Ia menilai tindakan sekelompok warga tersebut sama sekali tidak berdasarkan fakta di lapangan.
Meski demikian, pihak perusahan mempersilahkan sekelompok warga tersebut menyelesaikan persoalan tersebut ke jalur hukum. “Jika masih menilai perusahan bekerja tidak sesuai aturan, silahkan layangkan gugatan (ke pengadilan). Negara kita, negara hukum,” kata dia.
Ditambahkan Syarifullah, jika sekelompok warga tersebut tetap bersikeras untuk menduduki area perkebunan milik PT GMR dan PT SHS, apalagi sampai melakukan pemanenan buah sawit di sana, pihaknya akan melaporkan tindakan tersebut ke pihak kepolisian.
“Itu ranahnya sudah pidana. Karena mereka mengambil di lahan kami, apa namanya kalau bukan pencurian,” ucapnya.
Diketahui, Pasca pembubaran oleh pasukan gabungan, warga yang semula bertahan di area sekitar PT GMR tidak lagi terlihat kembali. Sementara, kelompok warga yang menduduki PT SHS masih terlihat di lokasi (tenda) yang mereka dirikan.(*/fitriya)