NANGA BULIK, KaltengEkspres.com – Petani sawit di Kabupaten Lamandau mulai menjerit akibat larangan ekspor crud palm oil (CPO) dan bahan baku minyak goreng lainnya. Petani menjerit karena harga tandan buah segar (TBS) sawit anjlok sejak larangan diberlakukan. Alhasil, harga sawit anjlok drastis pada tingkat petani mandiri.
“Sebelumnya harga TBS tembus Rp 3 ribu lebih. Sekarang ini tinggal Rp 1.500 di peron (pengepul), bahkan harga ada yang di bawahnya,” ujar salah satu petani sawit, Maulana Sjarif. Kamis (19/5/2022).
Warga Desa Liku Mulya Sakti itu mengaku, akibat anjloknya harga TBS sawit, petani mulai merana. Sebab harga sawit anjlok, tapi harga pupuk kimia masih bertahan di harga tertinggi yakni Rp 600-800 ribu/karung 50 Kg.
“Mirisnya harga sawit turun. Tetapi harga pupuk masih tinggi, mana bisa petani memupuk lagi. Harga sawit tingkat petani sudah tidak imbang untuk membeli pupuk,” katanya.
Maulana mengaku bisa membeli pupuk kimia dengan harga tinggi. Namun tidak dapat membeli kebutuhan rumah tangga karena kenaikan yang tidak wajar.
Untuk mengatasi mahalnya harga pupuk, petani terpaksa melakukan pemupukan dengan pupuk olahan sisa dari TBS sawit yang sudah diolah perusahaan.
Selain itu, Maulana juga heran karena harga minyak goreng tidak turun. Harga minyak goreng kemasan masih Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu untuk setiap 2 liter.
“Sawit turun, pupuk minyak goreng masih tinggi. Jadi imbasnya ke petani, berdarah-darah petani sekarang karena harga jatuh,” katanya.
Menyikapi hal itu, Bupati Lamandau Hendra Lesmana langsung menggali informasi ke pabrik pengolahan TBS Sawit. Ada sejumlah fakta yang pihaknya peroleh dari lapangan.
“Kami sudah mengumpulkan sejumlah fakta di lapangan. Selanjutnya akan kami sampaikan ke Gubernur dan pemerintah pusat,” tandasnya.(el/*)